Kamis, 07 Mei 2009

Pelita Buat Si Culun

Pelita Buat Si Culun

Pagi itu begitu cerah, namun seperti biasa aku berjalan memasuki gerbang sekolah dengan sendiri. Tak satu pun orang di sekelilingku menatapku ataupun menyapaku. Namaku Putri, tapi nama itu bertolak belakang denganku. Aku sama sekali tidak tampak seperti seorang putri. Aku jelek. Aku culun. Aku nggak perfect.

“ Teeetttttttt …….,” bunyi bel sekolah pun berbunyi

Aku bergegas memasuki kelas X.8. Itulah kelasku. Sesampainya aku di kelas, aku duduk di kursi yang biasa aku tempati, di pojok kelas depan meja guru. Di kelas pun, aku hanya duduk sendiri. Tak ada yang mau duduk bersamaku. Seolah-olah aku adalah bakteri yang harus dimusnahkan. Aku benar-benar sendiri.

“ Pagi anak-anak!,” sapa seorang guru yang sedang memasuki kelasku. Dia adalah Pak Judi, guru matematikaku.

“ Pagi Pak!,” sahut anak-anak.

Pelajaran pun berlangsung dengan baik. Aku dapat mengerti semua penjelasanku. Yah… mungkin satu-satunya kelebihanku adalah otakku yang pintar. Pelajaran berganti pelajaran, hingga bel istirahat pun berbunyi. Saat istirahat pun tak ada yang mau menghampiriku. Aku berjalan keluar dan duduk di sebuiah kursi panjang di depan kelasku. Aku hanya duduk terdiam sambil menatap sekelilingku. Hingga akhirnya pikiranku mengkhayal jauh. Dan tiba-tiba …..

“ Hai…,” sapa seorang gadis sambil memukul pundakku dan sesaat membuyarkan lamunanku

“ H-a-i…,” jawabku terbata-bata

“ Boleh aku duduk disini?,” tanya gadis itu

“ Tentu saja,” ucapku tak percaya

“ O ya, nama kamu siapa? Kita belum kenalan,” ucapnya sambil tersenyum ramah

“ Namaku Putri”, jawabku sambil menyambut uluran tangannya

“ ohh… Namaku Pelita”, balasnya

“ Kalau begitu mulai sekarang kita berteman ya”, sambungnya

“ Dengan senang hati”, balasku

Tak terasa ternyata waktu istirahat sudah habis dan teman baruku itu kembali ke kelasnya. Dengan wajah yang gembira aku memasuki kelas. Rasanya senang sekali ada yang mau berteman denganku. Perkenalan tadi benar-benar membuatku tidak konsentrasi belajar. Aku malah sibuk berpikir apakah benar pelita mau menjadi temanku. Dia begitu cantik, tapi mau menjadi temanku. Sungguh sulit kupercaya.

“ Putri, coba kamu kerjakan soal ini”, perintah guru

Sesaat aku baru sadar ternyata Ibu Mawar menyuruhku maju ke depan untuk mengerjakan soal fisika itu. Dia benar-benar membuyarkan pikiranku. Aku maju ke depan untuk mengerjakan soal itu. Untungnya aku sudah mempelajari materi itu.

Bel istirahat kedua pun kembali berbunyi. Ternyata Pelita sudah menunggu aku di luar kelas. Aku pun bergegas keluar kelas dan menghampirinya.

“ Kamu lapar nggak Put? Gimana kalau kita ke kantin?”

Aku terdiam sejenak. Aku berpikir apa Pelita nggak malu berteman denganku….

“Heiii…. Kamu melamun ya Put?”

“ Iya, maaf Ta. Aku cuman berpikir, apa kamu enggak malu jalan sama aku? Aku jelek dan culun, sedangkan kamu… kamu t cantik, baik dan populer lagi di sekolahan. Apa kata anak-anak nanti kalau mereka lihat kamu berteman sama aku.”

“ Aduh Put…. Kamu nggak seperti yang kamu katakan. Kamu cantiuk kok, hanya perlu diubah sedikit. Lagian aku tidak memerdulikan apa kata anak-anak nanti. Toh hak aku mau berteman dengan siapa saja. Lagian aku senang menjadi temanmu.”

Tanpa basa-basi Pelita langsung menarik tanganku. Aku hanya diam dan mengikutinya. Sepanjang jalan menuju kantin, semua orang yang kami lewati menyapa Pelita. Aku merasa hidupnya benar-benar sempurna. Tidak seperti aku. Mereka saja sudah berbisik-bisik ketika melihat aku berjalan dengan Pelita.

“ Aku benar-benar beruntung bisa berteman dengan Pelita”, gumamku

Sesampainya di kantin,aku benar-benar bingung harus memesan makanan apa, karena sejujurnya aku belum pernah ke kantin sekolah sebelum ini.

“ Put, kamu mau pesan apa?”, tanya Pelita

“ Sejujurnya aku tidak tahu mau memesan apa Ta. Aku nggak pernah ke kantin sebelumnya”, ucapku

Terdengar beberapa anak yang berdiri berdekatan denganku menertawakanku.

“Oo.. kalau begitu kamu pesan makanan yang sama aja kayak aku ya”, ucap Pelita

Aku hanya mengganggukkan kepala. Aku benar-benar merasa kik kuk di tengah kantin sekolah yang begitu ramai.

“ Oya Put, kalu begitu kamu cari tempat duduk aja dulu. Ntar aku nyusul”

Aku pun duduk di salah satu meja yang kosong sambil menunggu Pelita datang. Tak lama kemudian sosok yang aku tunggu itu datang membawa sebuah nampan di tangganya.

“Naahh… ini dia makanan favorit aku. Bakso Pak Man. Kamu pasti suka juga Put, baksoinya tu emang beda deh dari yang lain”, celoteh Pelita

Kami berdua pun mulai menyantap semangkuk bakso itu. Ternyata memang benar, bakso Pak Man ini benar-benar enak rasanya. Setelah menghabiskan bakso itu, kami kembali ke kelas karena bel tanda masuk sudah berbunyi.

Seusai pulang sekolah pun, Pelita dengan setia masih menungguku di gerbang sekolah. Pelita yang begitu sempurna, tanpa cacat begitu setia menjadi temanku yang tanpa keistimewaan.

Sesampainya aku di rumah, aku bergegas mengganti pakaian dan segera membantu Ibu berjualan di warung sampai sore. Setelah membantu Ibu, aku segera melanjutkan tugas-tugas sekolahku hingga larut malam dan akhirnya aku terlelap sampai mentari pagi pun menyapaku. Aku bergegas bangun dan bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Dengan bermodal dua kaki aku berjalan menuju sekolahanku.

“ Hai Put!”, tiba-tiba sebuah suara yang tak asing menyapaku di gerbang sekolah.

“ Hai juga,Ta”

Kami pun sama-sama memasuki sekolahan. Pagi itu sekolah masih tampak sepi, karena bisa dibilang kami datang awal. Kami duduk di taman sambil bercerita-cerita tentang hobby masing-masing hingga akhirnya pembicaraan kami dihentikan oleh suara bel sekolah.

“ Keasyikan ngobrol nih kita sampai udah bel deh, hehe”, cekikik Pelita

Akhirnya kami berpisah dan memasuki kelas masing-masing. Hampir semua waktukku aku habiskan bersama sahabat baruku “Pelita”. Semakin hari kami semakin akrab. Persahabatan kami terasa begitu indah sampai tak terasa setahun sudah kami menjalin tali persahabatan. Kenaikan kelas pun tiba, aku dan Pelita sama-sama berhasil melalui ujian kenaikan kelas, dan kami sama-sama mengambil jurusan IPA.

Pagi itu, aku dan Pelita datang lebih awal untuk melihat daftar pembagian kelas baru kami. Kami sama-sama sibuk mencari kelas kami.

“ Ta, ternyata kita sekelas!”, teriakku senang

“ Hah? Yang benar Put?”, ucap Pelita

“ Coba de kamu liat daftar kelas XI P.4 ini. No 34 tertulis Pelita Resty dan No.36 itu nama aku Putri Meirisa”

“ Iya Put. Kita sekelas!”, ucapnya senang

Karena sekelas, kami berdua semakin akrab. Apa-apa kami lakukan bersama. Kami belajar bersama. Kerja tugas sama-sama, bahkan hampir seharian aku menghabiskan waktu bersama Pelita. Tanpa sadar, aku sudah melalaikan tugas-tugasku. Aku jadi jarang membantu Ibu di warung, dan mengerjakan pekerjaan di rumah. Sampai Iobu menegurku, aku sadar, aku bukanlah Pelita yang kaya raya. Aku punya banyak tugas untuk membantu Ibu, apalagi setelah kematian Ayah. Ibu harus menjadi tulang punggung keluarga.

“Put, gimana kalau hari ini kita pergi mencari Buku biologi?”, tanya Pelita

“Maaf Ta, aku tidak bisa. Aku harus membantu Ibu di warung”

“Oh… nggak apa-apa kok Put. Ibumu pasti sibuk, sebaiknya kamu membantunya saja”, ucap Pelita

“Kamu emang benar-benar sahabat aku Ta. Makasih ya!”, kataku senang

Sejak saat itu, aku jadi jarang bersama Pelita. Pr dan tugas pun kami kerjakan sendiri. Kami tidak pernah belajar bersama lagi seperti dulu. Aku sangat sibuk membantu Ibu sampai-sampai aku tidak punya waktu bersama Pelita lagi. Satu minggu berselang, Pelita tidak masuk sekolah karena sakit. Aku merasa kesepian tanpa Pelita. Akhirnya aku putuskan sepulang sekolah untuk pergi kerumahnya melihat keadaanya. Bermodalkan sebuah kertas yang beralamatkan rumah Pelita, aku berjalan kaki dan akhirnya menemukan rumah itu. Setibanya di rumah Pelita, kulihat ada seorang satpam yang berjaga di depan rumahnya yang mewah itu.

“Pak, Pelitanya ada?”, tanyaku pada satpam itu

“Maaf, mbak siapa nya non Pelita ya?”, balas satpam itu

“Saya teman sekelasnya pak. Saya datang mau menjenguk Pelita”

“Oh, ini non Putri ya? Silahkan masuk non”, sambutnya ramah

“Kok satpam ini tahu ya kalau aku Putri?”, gumamku dalam hati

Aku benar-benar terkejut ketika masuk ke dalam rumah Pelita yang mewah itu. Rumah itu bagaikan istana. Sangat luas, bahkan ada kolam renangnya. Satpam itu menyuruh seorang pembantu Pelita untuk menunjukkanku kamar Pelita. Kamar pintunya tidak tertutup, dan ketika aku mau masuk ke dalam kamarnya, aku mendengar suara tangisan. Setelah aku lihat, ternyata benar Pelita yang menangis. Aku masuk ke kamarnya dan langsung duduk di sebelahnya. Tiba-tiba Pelita langsung memelukku.

“Kamu kenapa Ta? Kamu kenapa nangis?”, tanyaku khawatir

Pelita tidak menjawabku, dia terus menangis. Hingga akhirnya dia mulai berbicara dan menceritakan apa yang dia rasakan sekarang.

“Aku sedih banget Put. Aku merasa kesepian. Disaat aku sakit seperti saat ini, orang tua ku tidak datang menjengukku. Katanya sibuk lah..apalah… Dia cuma sesekali menelepon untuk menanyakan kabarku.”

Ternyata hidup Pelita tak sesempurna bayanganku. Dia kekurangan kasih sayang dari orang tuanya. Hanya pembantu yang menemaninya di rumah. Setiap orang memang mempunyai masalahnya sendiri-sendiri. Cukup lama aku menghabiskan waktu di rumah Pelita, aku menemaninya sampai ia tertidur dan akhirnya aku pulang.

Esok harinya, Pelita masuk sekolah. Bersamaan dengan hadirnya Pelita, tiba-tiba di kelasku kedatangan seorang murid baru.

“ Selamat pagi anak-anak, kalian kedatangan teman baru”, sapa Bu Lastri, guru fisikaku

“ Selamat Pagi bu!”, sahut anak-anak

“Silahkan masuk”, ucap Bu Lastri pada seorang

Muncullah wajah baru seorang anak laki-laki yang sepintas terlihat sempurna, tapi tampak angkuh. Bu Lastri pun menyuruhnya untuk memperkenalkan diri.

“ Namaku Gilang, pindahan dari Surabaya”, ucapnya singkat

Ibu Lastri mempersilahkan Gilang duduk bersebrangan dengan aku dan Pelita, karena kebetulan Vani yang duduk di seberangku belum punya teman sebangku. Semua anak-anak perempuan di kelasku membicarakannya, karena memang dia tampak begitu tampan walau terlihat angkuh. Sepertinya hanya aku yang menggangapnya biasa saja. Pelita sependapat dengan anak-anak yang lain.

Bel istirahat pun berdering aku dan Pelita ke kantin. Di kantin pun kami bertemu Gilang, ia sedang duduk sendiri di pojok kantin. Pelita mengajakku untuk bergabung dengan Gilang dan Pelita pun mengajak Gilang berkenalan. Terlalu sibuk mengobrol dengan Gilang, sampai-sampai Pelita melupakan aku. Tapi toh pada dasarnya aku memang tidak terlalu tertarik untuk berbicara dengan Gilang. Seperti makanan lezat yang baru pertama kali ia coba. Ini membuat aku dan pelita tidak begitu akrab lagi. Pelita tampak seperti anak kecil yang baru mendapat mainan. Hari-harinya dipenuhi dengan bayangan Gilang. Ia selalu membicarakan Gilang, memeperhatikan gerak-gerik Gilang, bahakn selalu memuji-muji Gilang. Itu benar-benar membuatku kesal pada Gilang, karena Gilang persahabatan aku dengan Pelita jadi renggang.

“Lang, aku mau bicara sebentar sama kamu!”, ucapku dengan nada yang sedikit tinggi

Ada apa?”, balasnya jutek

“ Kamu sadar gak sih? Gara-gara kamu, hubunganku dengan Pelita menjadi renggang”, ucapku kesal.

Dia hanya diam dan tersenyum, lalu pergi. Itu semakin membuatku kesal padanya. Tapi aku juga bingung harus berbuat apa.

“ Huff…”, gumamku dalam hati

Semakin hari hubungan mereka semakin dekat. Aku semakin terlupakan. Waktu-waktu Pelita dihabiskannya bersama Gilang. Suatu hari Pelita tiba-tiba mengajakku pergi

“ Put, gimana kalau minggu ini kita pergi nonton. Ada film bagus Put”, ajak Pelita

“ Maaf Ta, aku harus membantu Ibu, aku tidak punya waktu. Kenapa kamu tidak mengajak Gilang saja? Pasti dia mau pergi bersamamu”,jawabku

“ Justru itu Put, aku sudah mengajak Gilang dan dia menyuruhku untuk mengajakmu”, balas Pelita

Pelita terus memaksaku. Sebenarnya ku bisa saja pergi menonton, karena kebetulan minggu ini mau pergi ke rumah nenek dan aku hanya sendiri di rumah. Akhirnya dengan sedikit berat hati aku menyetujui ajakan Pelita.

Hari Minggu pun tiba, Pelita datang menjemputku dan ternyata di dalam mobil sudah ada Gilang. Aku merasa sedikit malu dengan keadaan rumahku.

“ Pasti Gilang sedang menertawakanku dalam hati, huh..!”, gumamku

Di mobil pun aku hanya diam seribu bahasa. Tanpa aku sadari, diam-diam Gilang memperhatikanku. Entah apa yang ada di pikirannya. Sampai di bioskop kami menonton film yang berjudul “ Perjuangan si gadis”. Setelah selesai menonton kami pergi ke sebuah restoran untuk makan malam.

“ Eh Put. Film tadi mengingatkan aku sama kamu deh”, ucap Pelita

“ Emang kenapa dengan Putri Ta?”, sela Gilang

“ Iyalah lang, gadis itu hidup dengan penuh perjuangan. Aku salut dengan Putri dan gadis itu”, jelas Pelita singkat

“ Trus apa hubungannya dengan Putri?”, tanya Gilang penasaran

“ Ah… sudahlah Ta. Buat apa kamu menceritakan kehidupan aku sama Gilang. Toh nggak ada manfaatnya kan?”, ucapku kesal

Setelah selesai makan, kami pun pulang. Pelita mengantarku pulang.

Besok harinya, waktu istirahat aku dan Pelita menceritakan soal film kemarin.

“ Filmnya itu benar-benar bagus ya Put. Lain kali kita nonton lagi ya!”

Ketika kami sedang asyik mengobrol, tiba-tiba si Gilang langsung duduk di sebelahku dan mendengar cerita kami.

“ Iya Put, aku jadi salut banget deh sama kamu. Kamu tu nggak pernah ngeluh. Dari semangat kamu untuk hidup, perjuangan kamu untuk ke sekolah. Kamu juga rajin membantu ibu kamu berjualan. Kamu Pintar. Aku jadi iri de sama kamu Put”, cerita Pelita

Si Gilang malah menatap ku seperti tak percaya. Aku merasa benar-benar malu. Entah Pelita hanya mau mempermalukan ku atau apa.

“ Aku kagum padamu Put. Ternyata kamu adalah gadis yang kuat”, ucap Gilang

Perkataannya barusan benar-benar mengagetkanku. Tidak kusangka si angkuh itu memujiku. Kata-kata dari Gilang sedikit menghiburku. Bel masuk pun berbunyi, kami kembali ke kelas dengan wajah tersenyum.

Keesokan harinya. Pelita mengajakku ke rumahnya. Sampai di rumahnya aku dibawa ke sebuah ruangan. Sekali melihat ruangan itu, aku sangat terkejut. Itu seperti sebuah salon dan ternyata itu adalah salon pribadinya Pelita.

“ Mas, tolong di permak ya teman saya supaya terlihat lebih cantik lagi”, ucap Pelita pada seorang laki-laki di ruangan itu

“ Loh aku mau diapain Ta?”, tanyaku bingung

“ Tenang aja Put, aku cuman mau mengubah sedikit penampilanmu. Kamu percaya kan sama aku, aku nggak akan macam-macam”, jelas Pelita

Aku tidak keenakan pada Pelita, sebenarnya aku tidak ingin mengikuti kemauannya, tapi aku rasa juga tidak ada salahnya mengikuti kemauan sahabatku. Dia pasti akan melakukan yang terbaik untukku. Jadi, aku hanya duduk terdiam di sebuah kursi sambil memejamkan mata dan membiarkan lelaki itu melakukan apa tugasnya.

“ Nah Put, coba kamu sekarang buka mata kamu”, ucap sebuah suara

Kemudian aku membuka mataku, dan aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat di cermin. Lelaki itu benar-benar telah merubah penampilanku. Aku tampak lebih cantik sekarang.

“ Put, kamu benar-benar cantik”, ucap Pelita

“ Makasih ya Ta”, ucapku senang

“ Syukurlah kalau kamu suka dengan penampilan barumu. Aku juga turut senang”,jawab Pelita

“ Oya, sekarang kamu ikut aku lagi ya. Kita akan pergi ke suatu tempat”

“ Kita mau kemana lagi ya Ta?”, tanyaku penuh penasaran

“ Nanti kamu juga bakalan tahu kok. Yuk kita pergi sekarang!”, ajak Pelita

Di perjalanan Pelita sibuk memuji penampilanku yang baru, aku merasa senang sekali. Entah apa yang akan dikatakan anak-anak besok ketika melihat penampilan baruku.

“ Nah, kita sudah sampai Tuan Putri yang cantik”, canda Pelita

“ Kamu bisa saja Ta. Ngomong-ngomong kenapa kita pergi ke optik ya?”, tanyaku

“ Aku mau kamu mengganti kacamatamu. Aku rasa kacamata itu sudah terlihat jadul”, jawab Pelita sambil mengajakku turun dari mobil.

“ Tapi Ta, aku nggak punya uang”

“ Udah Put, soal itu biar aku yang ngurus, lagian kan aku yang menyuruhmu mengganti kacamata”, ucap Pelita

Kami berdua pun masuk ke optik itu, dan Pelita memilihkan aku berbagai macam kacamata dan akhirnya aku memutuskan memilih kacamata yang berwarna coklat itu. Rasanya kacamata itu menambah kesempurnaan wajahku. Aku benar-benar berubah. Penampilanku tidak lagi culun. Aku benar-benar senang mempunyai seorang sahabat sebaik Pelita. Dia seperti Pelita yang mengubah hidupku.

“ Makasih banyak ya Ta. Aku nggak tahu harus dengan bagaimana membalas semua ini”

“ Asal kamu senang aku senang kok Put. Dengan kamu menjadi sahabatku itu saja sudah cukup. Aku belum pernah menemukan gadis seperti kamu Put, kamu benar-benar membuatku kagum. Satu hal yang pasti, kamu harus janji dengan aku, kamu harus hidup bahagia dan tetap menjadi wanita yang kuat,Put”, pinta Pelita

“ Kamu kok ngomong nya sampai begitu Ta, membuat aku terharu saja. Aku pasti akan selalu ingat pesanmu”, ucapku

Setelah itu Pelita mengantarku pulang. Aku dan Pelita pun berpisah di depan rumahku.

Sesampainya aku di rumah, Ibu benar-benar terkejut dengan apa yang dilihatnya

“ Kamu Putri nak? Kamu cantik sekali sayang”, ucap Ibu sambil memelukku

Aku senang sekali ibu memujiku. Malam itu terasa begitu membahagiakan. Aku merasa capek dan bergegas tidur. Besoknya, pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke sekolah. Entah apa tanggapan teman sekelasku nanti. Yang pasti aku harus percaya diri. Dengan tekad itu, aku pun berjalan kaki menuju sekolahku. Sesampai aku di kelas, mereka semua menatapku, seolah aku adalah orang yang asing.

“ Wah Put, kamu cantik sekali”, ucap salah seorang temanku

“ Terima kasih”, balasku sambil tersenyum

Aku duduk di kelas sambil menunggu Pelita datang, tapi itu sia-sia saja. Entah mengapa sampai bel berbunyi pun Pelita belum datang. Padahal dia jarang absen kecuali kalau sakit dan rasaku kemarin dia masih baik-baik saja. Tiba-tiba yang datang menghampiriku adalah Gilang. Dia duduk di sebelahku, dimana tempat seharusnya Pelita duduk. Dia menatapku tak percaya.

“ Hei Lang, kamu kok duduk di tempat Pelita sih?”, tanyaku kesal

“ Kamu benar-benar berubah Put. Kamu tampak cantik sekarang”, ucap Gilang tersenyum

Sesaat jantungku langsung berdetak cepat mendengar perkataan Gilang barusan. Aku tidak tahu kenapa perasaan seperti ini tiba-tiba muncul.

“Apakah Pelita yang merubah penampilanmu?”, sambungnya lagi

“ Iya”, ucapku

“ Kamu benar-benar beruntung mempunyai teman seperti Pelita,Put”

“Hei! Kalian berdua! Silahkan berdiri di tiang bendera lapangan sekolah sambil hormat bendera sampai nanti pulang sekolah”, bentak Pak Judi

Kami berdua terlalu asyik mengobrol sampai-sampai tidak sadar kalau Pak Judi sudah masuk kelas, dan hingga akhirnya kami kena hukum. Aku dan Gilang pun segera melaksanakan hukuman yang diberi.

“ Oya Put, kemarin malam Pelita datang ke rumahku, dan dia menitipkan sebuah surat untukkmu”, ucap Gilang sambil hormat bendera

“ Hah? Kenap dia tidak langsing memberikannya padaku?”, tanyaku

“ Aku juga tidak tahu. Dia tiba-tiba saja datang ke rumahku dan dia bilang dia menitipikanmu padaku dan sebuah surat untukkmu”, jawab Gilang

“ Bagaimana bisa? Sebenarnya apa yang terjadi, kenapa dia tiba-tiba menitipkan aku padamu dan kenapa hari ini dia juga tidak datang ke sekolah?”, uacapku penuh tanya

“ Sebenarnya Pelita pagi ini sudah berangkat ke Amerika buat menjalani pengobatan, dia menderita tumor di kepalany, Put. Dia nggak mau menceritakan hal itu padamu, dia takut kamu khawatir memikirkannya, padahal kamu sendiri juga sudah punya banyak masalah”

Tanpa aku sadari air mataku menetes, aku tidak tahu apalagi yang harus aku lakukan. Aku tak sempat mengucapkan selamat tinggal pada sahabat terbaikku. Aku tidak bisa menemaninya disaat seperti ini. Dia sudah pergi dan kini tinggal aku seorang. Gilang pun memberikan surat itu padaku. Sewaktu bel pulang sekolah berbunyi aku segera pulang tanpa menghiraukan Gilang yang dari tadi memanggilku. Aku pulang dan membaca Sepucuk surat dari Pelita.

Palembang, 16 April 2008

Untuk sahabat terbaikku,

Haii Put… pasti Gilang sudah menceritakan semuanya Aku memang pergi ke Amerika untuk menjalani pengobatan, karena dokter disini bilang penyakitku sangat parah dan aku harus menjalani pengobatan yang lebih intensif.

Maaf aku tidak menceritakan penyakitku ini padamu, aku tidak ingin melihat kamu sedih Put. Aku ingin selalu melihatmu tersenyum layanknya seorang Putri. Aku senang sekali bisa menjadi temanmu Put. Aku merasa kamu itu gadis yng beda dari yang lainnya. Kamu kuat, tegar, semangat dan mau berjuang. Pertamanya aku merasa sudah putus asa dengan penyakit tumor yang aku derita ini. Aku merasa sudah tidak ada harapan lagi. Tapi saat melihatmu, aku sadar aku harus tetap memperjuangkan hidup ini. Aku jadi berubah pikiran dan memutuskan untuk melakukan pengobatan di Amerika. Orang tuaku juga berjanji akan menemaniku disana, sampai aku benar-benar sembuh. Jadi kamu tidak perlu khawatir lagi denganku Put, aku pasti baik-baik saja disana dan aku pasti bahagia karena ada kedua orangtuaku yang menjagaku.

Mengenai Gilang….

Aku sengaja menitipkanmu padanya, karena aku tahu hanya Gilang yang mampu menjagamu dengan baik. Dia memang terkesan angkuh, tapi hal itu dia lakukan karena dia tidak mau kamu tahu bahwa dia suka padamu. Dia merasa malu untuk mengungkapkan perasaannya. Sejak awal, aku sudah sadar bahwa Gilang itu menyukaimu Put. Begitu pun kamu. Kalian berdua sangat cocok dan aku berharap suatu saat nanti kalian dapat menjadi pasangan yang abadi. Aku pasti akan sangat senang ketika melihat kalian bersama-sama ketika aku pulang ke Indonesia nanti.

Ingat Put, satu pesan aku “ Kamu harus hidup bahagia dan tetap menjadi wanita yang kuat”. Aku mau kamu tetap jadi sahabatku walaupun kita sekarang berjauhan. Nanti kalau aku sudah sembuh, aku pasti akan kembali lagi ke Indonesia dan orang pertama yang aku kunjungi pasti kamu put. Selamat tinggal sahabat terbaikku, aku sayang kamu!

Sahabatmu,

Pelita

Selesai membaca surat itu, air mataku menetes tiada henti. Semalaman aku menangis,aku menyesal tak sempat berbuat apa-apa sebelum Pelita pergi. Aku menangis hingga akhirnya aku tertidur. Suara burung-burung pagi pun membangunkanku. Aku pun siap-siap berangkat ke sekolah walau dengan hati sedih.

“ Put buruan, temanmu sudah menunggu daritadi”, teriak Ibu

Aku berpikir Pelita yang menunggu, tapi skali aku lihat, itu adalah seorang pria. Itu Gilang! Betapa terkejutnya aku melihat dia berdiri di depan rumahku.

“ Hai Put. Selamat pagi”, ucapnya ramah

“Mulai hari ini dan seterusnya aku akan antar jemput kamu ke sekolah”, sambungnya

Dengan penuh tanya aku memasuki mobilnya dan kami pun berangkat sekolah bersama-sama. Entah mengapa dia tidak menjalankan mobilnya.

“ Put, sebenarnya ada yang mau akau katakan”,ucap Gilang

“ Apa Lang?”, tanyaku tanpa ekspresi

“Aku pingin kamu tahu Put, aku suka sama kamu dan aku harap kamu mau menjadi pacarku. Aku janji tidak akan mengecewakanmu Put. Pelita juga sudah menyetujuinya”

Sesaat aku terdiam, pikiranku benar-benar kacau. Baru saja aku ditinggal sahabatku dan tiba-tiba Gilang menyatakan perasaannya padaku

“Hallo Put? Kamu kenapa malah diam? Kamu nggak suka sama aku ya?”, tanya Gilang

“ Sebenarnya…. Aku mau kok jadi pacar kamu Lang”, jawabku malu-malu

Semenjak itu aku dan Gilang berpacaran, aku benar-benar bahagia menjadi pacarnya. Hari demi hari kami lewati bersama, dan aku juga tidak pernah bersedih lagi. Aku sudah janji pada sahabatku untuk tetap menjadi Pelita yang kuat dan tetap bahagia. Aku harap Pelita juga merasa bahagia seperti apa yang aku rasakan dan aku masih terus menunggunya sampai suatu saat nanti waktunya tiba, Pelita akan kembali ke Indonesia dan dia pasti senang melihat impiannya untuk melihatku dan Gilang bersama itu terwujud. “Sahabat itu memang seperti Pelita”. Cahaya pelita yang mengubah hidupku menjadi sempurna.